Senin, 26 Oktober 2009

Resume Pradigma Pendidikan

PRADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang menyangkup segala aspek “yang seharusnya” tetapi di sisi lain hanya melangsungkan proses pada satu sisi saja, itulah yang di khawatirkan dalam proses pendidikan.Kalau kita melihat secara fitrah manusia diciptakan dengan keadaan suci sehingga untuk mengembangkannya perlunya pendidkan, dengan mengenyam pendidikan setidaknya manusia bisa hidup lebih survive dalam menghadapi realitas kekinian. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengambangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran melalui berbagai cara baik itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun non formal.Pergaulan dalam pendidikan sendiri perlu adanya acuan dan arahan yang jelas supaya kelak anak didik dapat memfungsikan ilmu yang didapat dari pendidikanya. Lalu melihat akar permasalahan pendidikan kita apakah pendidikan kita (Indonesia) sudah bisa dikatakan maju ?, atau sudah dikelola dengan baik ? itu menjadikan kita bagaimana menelusuri dan nantinya bisa kita perbaiki untuk menuju arah pendidikan yang lebih baik.Islam sebagai agama sekaligus sebagai acuan untuk anutan dengan berpijak pada Al Quran dan al Hadits juga perlu memberikan kontribusi kepada pendidikan, dan kita sebagai orang islam harus punya alternatif bagi bangsa upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai aturan islam.Pendidikan nasional sendiri berfungsi sebagai pengembangan kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermaratabat dalam rangka menncerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan tujuannya. Pendidikan islam merupakan bentuk bagaimana kita bisa mengartikulasikan agama dalam ranah kehidupan manusia dan itu merupakan sesuatu yang fenomenal.Dalam praktiknya agama sendiri merupakan keyakinan (belief) dogma tradisi, praktik dan ritual.
Pada dasarnya misi pendidikan sendiri adalah misi berubah. Dalam sebuah pertemuan guru di sekolah, seorang pembicara memberikan tiga poin yang wajib dilakoni oleh para guru:
1. Keyakinan terhadap perubahan dalam wujud kurikulum dan sistem pendidikan secara bersama-sama. Paradigma pendidikan yang dianut terus diupdate dengan menyesuaikan kebutuhan peserta didik di dunia ke depan.
2. Menjalankan misi sekolah yang telah direncanakan bersama oleh para stakeholder untuk mewujudkan perubahan kualitas baik untuk sistem pendidikan maupun output sekolah.
3. Konsistensi terhadap perubahan yang jelas akan menghadapi banyak tantangan dan banyak hal-hal baru sebagai serangkaian persoalan yang justru perlu dicermati.
Kekurangan dalam proses pelaksanaan sistem pendidikan tenu saja menjadi barang yang biasa. Stigma akan selalu ada. Bersikap perfeksionis tentu akan sangat menghambat perubahan. Tidak mengenali potensi yang menjadi miliki bersama di sekolah juga akan memupus habis misi perubahan. Metode SWOT yang ditelorkan sebagai perbaikan sistem pendidikan persisnya juga mengantarkan pemikiran para pendidik untuk mampu merefleksi diri dan organisasi sebagai kesatuan. Stigma atau kelemahan sistem tidak boleh dinisbikan, kalau bisa hendaknya ada usaha untuk menginventarisir dan mengupaykan solusi secara pragmatis. Tidak ada sistem pendidikan yang tanpa stigma, kecuali ada niatan untuk berhenti berubah dan tidak sadar lingkungan.
Sebenarnya pertanyaan yang pas bukannya mau apa setelah sekolah dirintis menjadi sekolah bertaraf internasional. Tetapi, kita lebih baik mempertanyakan tentang persiapan apa saja yang sudah diupayakan untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah bertaraf internasional? Dari konsep pendidikan yang bagaimana para birokrat pendidikan berdiri dengan tegar untuk menyelenggarakan satuan-satuan pendidikan yang diberi label ‘internasional’? Semua yang terkait dengan gagasan tentang SNI atau RSBI masih menjadi bahan perdebatan yang panjang di banyak kalangan pendidikan.
Dengan pengertian pendidikan seperti diatas, maka sulit menentukan ukuran manusia terdidik. Karena manusia terdidik adalah manusia yang telah mencapai kedewasaanya. Sementara ukuran kedewasaan masih menjadi sebuah perdebatan dan tidak memiliki ukuran yang jelas dan pasti. Maka dibuatlah sebuah legalitas berdasarkan tingkatan pendidikan formal. Dan ijazah maupun sejenisnya, nampaknya menjadi pilihan solusi untuk menentukan antara ”manusia terdidik” dan ”manusia tak terdidik”. Sehingga bisa dilihat siapa yang ”terdidik” dan siapa yang ”tak terdidik”.
Akan tetapi persoalannya tidak cukup sampai disitu. Seringkali substansi pendidikan justru dilupakan. Sudah cukup bagi siswa untuk menghafal apa yang diajarkan guru, kemudian menulis ulang jika ditanyakan dalam ujian. Baginya, yang penting mendapat nilai bagus agar bisa lulus dan mendapat pengakuan sebagai ”manusia terdidik” tanpa peduli terhadap pemahaman dan aplikasinya. Sehingga sekolah hanya menjadi belenggu karena hanya sebatas transfer pengetahuan.
Sehingga pendidikan dalam hal ini sekolah, tidak lebih hanya sebagai ruang komersialisasi pengetahuan. Pengetahuan dalam konteks komersial adalah pendidik (guru atau profesor) menjual pengetahuan dengan cara menyampaikan pengetahuan yang mereka punya. Guru atau profesor tidak lagi menjadi seorang yang ahli dan kompeten, tetapi penjual pengetahuan. Secara praktis, hal itu berarti pengetahuan yang sudah diterima, diwarisi oleh mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.
Dapat diambil pengertian bahwa masyarakat terdidik adalah mayarakat yang telah mencapai tingkat kedewasaan, dalam artian dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, sehingga mampu memacu perkembangan peradaban. Maka bukan sekedar mengetahui pengetahuan yang sudah ada, akan tetapi juga mampu mengembangkan dan menciptakan pengetahuan baru. Jika kondisi ideal tersebut dapat dicapai maka pendidikan akan bisa mengambil peranan yang cukup besar dalam pembangunan.
Zamroni menjelaskan dua paradigma berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan. Pertama, paradigma fungsional; dan kedua paradigma sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan lebih disebabkan karena masyarakat tidak cukup memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan, dan sikap modern. Sementara paradigma sosialisasi, memandang peranan pendidikan adalah: (1)mengembangkan kompetensi individu, (2)meningkatkan produktifvitas, (3)meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam upaya memajukan kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan.
Namun kedua paradigma tersebut memiliki ekses-ekses negatif dalam praktek pendidikan di indonesia. Sebagaimana analisis yang diberikan Zamroni. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analitis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme pendidikan melihat anak didik secara tidak utuh dan terpecah-belah. Akibat dari penglihatan ini, maka sistem pendidikan lebih mementingkan formalisasi dari pada substansinya. Nilai, rangking, indeks prestasi, NEM, dan ijazah, menjadi lebih penting dari pada pembentukan kepribadian siswa secara utuh. Sementara paradigma mekanistik, pendidikan dipandang sebagai input-proses-output, yang menjadikan sekolah sebagai proses produksi. Anak didik dipandang sebagai raw-input, sementara guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang dihasilkan. Paradigma jenis ini jelas memiliki banyak kelemahan, diantaranya sistem yang bersifat mekanistik dan anak didik diperlakukan bagai barang produksi.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan lokomotif pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Dalam prakteknya, agar pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus diorganisir dalam suatu struktur manajemen yang sentralistik agar mudah dikontrol, kurikulum ditentukan dari pusat, dan evaluasi akhir untuk mengukur capaian yang sudah diperoleh bersifat tunggal. Akibatnya pendidikan menjadi kehilangan kreatifitas dan keberagaman menjadi mati dalam praktek pendidikan.

Resume Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitassecara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Tujuan MBS adalah untuk mewujudkan kemerdekaan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian peran pemerintah pusat akan berkurang. Sekolah diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Paling tidak ada tiga tujuan dilaksanakannya MBS peningkatan efesiensi, peningkatan mutu, peningkatan pemerataan pendidikan. Dengan adanya MBS diharapkan akan memberi peluang dan kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan siswa untuk melakukan inovasi pendidikan. Dengan adanya MBS maka ada beberapa keuntugan dalam pendidikan yaitu, kebijakan dan kewenangan sekolah mengarah langsung kepada siswa, orang tua dan guru, sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, pembinaan peserta didik dapat dilakukan secara efektif, dapat mengajak semua pihak untuk memajukan dan meningkatkan pelaksanaan pendidikan.

Komponen Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan Program MBS adalah peningkatan mutu pembelajaran.
Program ini terdiri atas tiga komponen, yaitu:
1. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2. Peran Serta Masyarakat (PSM), dan
3. Peningkatan Mutu Kegiatan Belajar Mengajar melalui Penginkatan Mutu Pembelajaran yang disebut Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) di SD-MI, dan Pembelajaran Kontekstual di SLTP-MTs.

Keuntungan MBS :

1. Dalam rangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) alokasi dana kepada sekolah menjadi lebih besar dan sumber daya tersebut dap at dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri.
2. Sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, termasuk¨ pengadaan buku dan bahan belajar. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di kelas.
3. membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitarnya dalam proses tersebut.
Kepala sekolah dan guru dapat bekerja lebih profesional dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak di sekolahnya.
4. Seperti semua inisiatif yang lain, manajemen yang bagus adalah kunci untuk implementasi yang afektif. Bila perubahan sistemik dilaksanakan tanpa perubahan kebudayaan organisasi, implementasinya sering gagal dan kembali ke keadaan sebelumnya, seperti kita sudah melihat dulu setelah kepala sekolah yang mendorong prosesnya dipindahkan ke sekolah yang lain.

Selasa, 20 Oktober 2009

Resume UU Pendidikan

UU BHP(Badan Hukum Pendidikan)

Latar Belakang Masalah

Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.

Kontroversi UU BHP yang diagungkan oleh sebagian masyarakat utamanya para mahasiswa itu lebih mengkritisi pada kekhawatiran dalam pelaksanaannya, yang diduga akan mengakibatkan semakin mahal dan tidak terjangkaunya biaya pendidikan di perguruan tinggi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. UU BHP juga disalahkan karena tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa

Pro dan kontra terhadap kehadiran UU BHP adalah sebuah kewajaran dalam dinamika kehidupan akademis, karena pemahaman terhadap isi undang-undang BHP yang terdiri dari 14 pasal dan 69 ayat itu bisa berbeda.

Perumusan masalah

(1). Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya tidak tercermin dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.

(2). Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP

(3). Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP

Pembahasan

Pasal-pasal yang ada lebih mengatur hal-hal yang terkait dengan privatisasi dan korporatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) seperti terungkap pada Pasal 43 ayat (1) tentang badan usaha dan Pasal 57 tentang kepailitan. Di sisi lain komersialisasi PTN secara implisit tercermin pada Pasal 38 ayat (1) yang menjelaskan tentang sisa hasil kegiatan/usaha.

Pembatasan akses pendidikan tinggi bermutu bagi warga negara berpenghasilan rendah tercermin pada Pasal 46 ayat (1) yang memberi kuota 20 persen untuk mahasiswa golongan ini. Itupun tidak ada batasan jaminan keterjangkauan biaya pendidikan yang diatur secara jelas.
Meskipun pada kenyataannya, jauh-jauh hari sebelum UU BHP disahkan, hampir sebagian besar PT BHMN
(badan hukum milik Negara) sudah lebih dulu memasang tarif tinggi untuk bidang studi yang banyak diminati. Dengan demikian, UU BHP telah memberikan legitimasi terhadap praktek-praktek pemungutan biaya kuliah yang tinggi tanpa batasan besarnya biaya tersebut khususnya pada beberapa PTN melalui pelaksanaan ujian mandiri.

Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN sebagaimana diungkapkan pada Pasal 41 ayat (6) dan (9), dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa.

Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP, yang mencerminkan bahwa undang-undang ini terkesan diselesaikan secara tergesa-gesa hanya untuk memenuhi target dengan mengabaikan kualitasnya. Arya Hadi Darmawan (2009) menyebut kekacauan ini sebagai inkonsistensi logika antar pasal. Ia memberi contoh inkonsistensi tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan BHPP adalah organisasi nirlaba versus Pasal 57 dan Pasal 58 yang menyatakan bahwa BHPP dapat pailit. Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan sisa hasil usaha (SHU) versus Pasal 38 ayat (1) dan (3) tentang sisa hasil kegiatan, yang secara jelas menunjukan inkonsistensi.

Solusi

Karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.
Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (Tempointeraktif.com, 8/1/2007). Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Kenyataan ini antara lain karena negara-negara pemberi utang mendorong negara-negara pengutang seperti Indonesia meminimalkan perannya dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar, seperti pendidikan. Pencabutan pembiayaan di sektor pelayanan publik termasuk pendidikan ini untuk memudahkan negara-negara pengutang membayar utangnya dengan lancar. Pengurangan subsidi ini telah menjadi syarat pemberian utang oleh Bank Dunia dengan skema SAP (Structural Adjustment Project). Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini—yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara—justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya.