Sabtu, 28 November 2009

Peran Guru Dalam Pembelajaran

Keberadaan guru di mayapada sudah ada sejak jaman dulu. Sejak manusia paling awal diciptakan, yaitu Nabi Adam A.S. Guru Nabi Adam A.S. adalah guru dari segala guru, guru dari para penemu, guru dari makhluk paling soleh, yaitu Allah SWT. yang Maha Tahu. Dalam Al Quran diterangkan Allah SWT. yang mengajarkan pada Adam segala sesuatu tentang benda yang ada di dunia. Selanjutnya Nabi Adam mengajarkannya pada Siti Hawa, begitu seterusnya.
Istilah guru pada saat ini mengalami penciutan makna. Guru adalah orang yang mengajar di sekolah. Orang yang bertindak seperti guru seandainya di berada di suatu lembaga kursus atau pelatihan tidak disebut guru, tetapi tutor atau pelatih. Padahal mereka itu tetap saja bertindak seperti guru. Mengajarkan hal-hal baru pada peserta didik.
Terlepas dari penciutan makna, peran guru dari dulu sampai sekarang tetap sangat diperlukan. Dialah yang membantu manusia untuk menemukan siapa dirinya, ke mana manusia akan pergi dan apa yang harus manusia lakukan di dunia. Manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya memerlukan bantuan orang lain, sejak lahir sampai meninggal. Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan harapan guru dapat mendidiknya menjadi manusia yang dapat berkembang optimal.
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individu, karena antara satu perserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Mungkin kita masih ingat ketika masih duduk di kelas I SD, gurulah yang pertama kali membantu memegang pensil untuk menulis, ia memegang satu persatu tangan siswanya dan membantu menulis secara benar. Guru pula yang memberi dorongan agar peserta didik berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Guru juga bertindak bagai pembantu ketika ada peserta didik yang buang air kecil, atau muntah di kelas, bahkan ketika ada yang buang air besar di celana. Guru-lah yang menggendong peserta didik ketika jatuh atau berkelahi dengan temannya, menjadi perawat, dan lain-lain yang sangat menuntut kesabaran, kreatifitas dan profesionalisme.
Memahami uraian di atas, betapa besar jasa guru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan para peserta didik. Mereka memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan Negara dan bangsa.
Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, professional dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai :
1. Orang tua, yang penuh kasih saying pada peserta didiknya.
2. Teman, tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3. Fasilitator, yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.
4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
6. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar.
7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.
8. Mengembangkan kreativitas.
9. Menjadi pembantu ketika diperlukan.
Demikian beberapa peran yang harus dijalani seorang guru dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para siswanya.
Saat ini permasalahan yang menimpa bidang pendidikan sangat beragam dan tergolong berat. Mulai dari sarana dan prasarana pendidikan, tenaga pengajar yang kurang, serta tenaga pengajar yang belum kompeten. Kondisi sekolah yang memprihatinkan, ruang kelas bocor bila hujan dan sebagian sekolah ambruk. Maka tidaklah aneh kalau kondisi pendidikan kita jauh dari harapan.
Salah satu permasalahan yang menimpa dunia pendidikan adalah kompetensi guru. Guru yang harusnya memiliki kompetensi sesuai ketentuan dan kebutuhan, nyatanya hanya sedikit yang masuk kategori tersebut. Sisanya sungguh memprihatinkan. Program sertifikasi guru yang sekarang sedang digalakkan adalah salah satu bagian dari usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Program sertifikasi guru merupakan program yang menyentuh langsung kompetensi guru. Salah satu kriterianya yaitu menilai kemampuan guru dari segi kreatifitas dan inovasi dalam pembelajaran. Diharapkan guru dapat melakukan pembelajaran yang dapat menghantarkan siswa ke arah sikap kreatif dan inovatif serta trampil. Kondisi tersebut harus dimulai dari gurunya sendiri.
Sebagai contoh derasnya informasi serta cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan pertanyaan terhadap tugas utama guru yang disebut “mengajar”. Masih perlukah guru mengajar di kelas seorang diri, menginformasikan, menjelaskan dan menerangkan? Permasalahan lain akibat derasnya informasi dan munculnya teknologi baru adalah kesiapan guru untuk mengikuti perkembangan tersebut. Seorang guru dituntut harus serba tahu bila tidak tahu guru harus berkata jujur “Saya tidak tahu”. Namun kalau terlalu sering guru berkata demikian alangkah naifnya guru tersebut. Seyogyanya dia terus mencari tahu, belajar terus sepanjang hayat, memanfaatkan teknologi yang ada.
Di masyarakat, seorang guru diamati dan dinilai masyarakat, di sekolah dinilai oleh murid dan teman sejawatnya serta atasannya. Peran apakah yang harus dilakoni seorang guru supaya penilaian mereka positif? Suatu pertanyaan -yang menjadi salah satu permasalahan- yang sekarang muncul di masyarakat.
Dalam proses pembelajaran, guru dituntut untuk dapat membentuk kompetensi dan kualitas pribadi anak didiknya. Untuk mencapai hal demikian timbul pertanyaan, sebenarnya peran apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga anak didik bisa berkembang optimal? Cukupkah peran guru seperti yang telah disampaikan di atas ataukah ada peran lain yang harus dilakoni seorang guru ?
Beragam pertanyaan tadi dapat menyebabkan demotivasi bagi seorang calon guru ataupun guru yang sudah lama mengabdi. Apakah saya mampu menjadi guru yang ideal? Peran apa yang harus saya lakoni untuk menjadi guru yang ideal? Demikian pertanyaan yang timbul dalam hati seorang guru yang berniat mengabdikan sisa hidupnya di dunia pendidikan.
Pertanyaan tersebut sebelumnya telah menggugah sejumlah pengamat dan akhli pendidikan. Mereka telah meneliti peran-peran apa yang harus dimiliki seorang guru supaya tergolong kompeten dalam pembelajaran maupun pergaulan di masyarakat.
Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Guru Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.
2. Guru Sebagai Pengajar
Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu : Membuat ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan, Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan media untuk mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran, Memberikan nada perasaan.
Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi standar.
3. Guru Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.
Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut.
Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.
Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.
Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.
Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.
4. Guru Sebagai Pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar.
5. Guru Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.
Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.

6. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)
Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan.
Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.
7. Guru Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis, Selera, Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum
Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri.
Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
8. Guru Sebagai Pribadi
Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.
Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik.
Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
9. Guru Sebagai Peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian.
10. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.
Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.
11. Guru Sebagai Pembangkit Pandangan
Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai dari kisah nyata sampai yang direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya. Mengembangkan fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.
12. Guru Sebagai Pekerja Rutin
Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
13. Guru Sebagai Pemindah Kemah
Hidup ini selalu berubah dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-mindahkan dan membantu peserta didik dalam meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan serta membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. Guru harus memahami hal yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi peserta didiknya.
14. Guru Sebagai Pembawa Cerita
Sudah menjadi sifat manusia untuk mengenal diri dan menanyakan keberadaannya serta bagaimana berhubungan dengan keberadaannya itu. Tidak mungkin bagi manusia hanya muncul dalam lingkungannya dan berhubungan dengan lingkungan, tanpa mengetahui asal usulnya. Semua itu diperoleh melalui cerita.
Guru tidak takut menjadi alat untuk menyampaikan cerita-cerita tentang kehidupan, karena ia tahu sepenuhnya bahwa cerita itu sangat bermanfaat bagi manusia.
Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita manusia bisa mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang nampak diperlukan oleh manusia lain, yang bisa disesuaikan dengan kehidupan mereka. Guru berusaha mencari cerita untuk membangkitkan gagasan kehidupan di masa mendatang.
15. Guru Sebagai Aktor
Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga tentang kepribadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.
Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdian dan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkan kegiatannya. Tahun demi tahun sang actor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar.
16. Guru Sebagai Emansipator
Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insane dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
17. Guru Sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.Penilaian harus adil dan objektif.
18. Guru Sebagai Pengawet
Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan.
Sarana pengawet terhadap apa yang telah dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif terhadap apa yang akan diawetkan.
19. Guru Sebagai Kulminator
Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.
Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
Kutipan :yatun romdonah awaliyah,Kompas.com

Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Profesi pendidik – khususnya guru dan dosen – menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan syarat wajib profesi ini.
Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.
Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai ”SIM” (Surat Ijin Mengajar) yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.
Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik – khususnya guru dan dosen – terkesan superior dan ”dimanjakan” dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.
Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen sebagai kemudi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.
Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh ”menganak-emaskan” salah satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu. Dan sampai saat ini peran kedua profesi tersebut masih menjadi kontroversi.
Faktor materi
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Tetapi dilihat secara materi, kelak pendidik (guru dan dosen) mempunyai gaji 2 kali dan/ atau bahkan 3 kali lebih besar dari gaji tenaga kependidikan. Demikian setidaknya amanat UU tentang guru dan dosen. Sedangkan gaji tenaga kependidikan berkutat pada nominal tunjangan yang kurang sebanding bila dibandingkan dengan tunjangan pendidik. Faktor penghargaan secara materi inilah yang akhirnya mempengaruhi barometer kinerja tenaga kependidikan menjadi kurang bergairah. Tanpa adanya perhatian, perbaikan dan penghargaan dikhawatirkan akan muncul ketidakprofesionalan tenaga kependidikan. Hal ini diperparah oleh standar profesi dan kesejahteraan tenaga kependidikan yang selama ini hanya diatur dalam regulasi internal lembaga teknis yang menaunginya

Setengah hati
Pemerintah rupanya masih setengah hati melihat peran tenaga kependidikan. Kondisi ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 087/ U/ 2002 tentang Akreditasi Sekolah yang perlu ditindaklanjuti secara seksama. Dalam pasal 6 kepmen tersebut menyebutkan bahwa persyaratan sekolah yang diakreditasi harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan (ayat c) dan tenaga kependidikan (ayat d).
Tetapi anehnya syarat itu hanya menjadi lelucon saja. Banyak sekolah yang memposisikan sarana dan prasarana (baca : perpustakaan, laboratorium) apa adanya. Bahkan tanpa menempatkan pustakawan ataupun laboran di dalamnya. Walhasil guru menjadi korban untuk ditugaskan mengurusnya. Tidak sedikit kemudian muncul ”perpustakaan siluman”. Wujud fisik perpustakaan hadir saat akreditasi saja, setelah itu lenyap entah kemana. Termasuk pustakawan di dalamnya.
Kesimpulan
Kegiatan belajar-mengajar tanpa peran tenaga kependidikan akan mengalami gangguan. Karenanya tenaga kependidikan perlu ”pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka. Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu pendidikan. Akankah?

Kamis, 26 November 2009

Ali Mustofa: MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU

Ali Mustofa: MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU

MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU

MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
Mengamati proses peningkatan guru diatas ada, saya jadi ingat sebuah artikel yang saya baca di blog dangerouslyirrelevant mengenai gaya pelatihan guru yang paling mutakhir antara lain;
• Semua orang adalah sumber pengetahuan, jadi bisa saja fasilitator memberikan peserta kesempatan untuk menjelaskan.
• Semua orang punya kedudukan yang sama saat pelatihan.
• Semua orang membentuk dan mempunyai gaya belajar nya masing-masing
• saat pelatihan yang terjadi adalah suasana dialog secara professional
• berbasis prinsip inkuiri, artinya setiap orang berusaha mencari tahu apa yang dirinya sendiri merasa belum menguasai.
• Guru belajar dengan mengajarkan orang lain.
• Tidak harus dalam waktu yang lama dan khusus, bisa hanya dengan video clips, bahkan tutorial singkat sekejap.
• Berlangsung terus artinya semakin sering digunakan keterampilan yang dibahas dalam pelatihan, guru akan semakin menguasai.


kutipan :kompas.com
google.com

Minggu, 22 November 2009

Sarana dan Prasarana Pendidikan

Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.Sedangkan Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.Standar sarana dan prasarana pendidikan tinggi bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan tinggi sehingga lulusannya dapat bersaing di era global. Standar ini akan berfungsi sebagai acuan dasar yang bersifat nasional bagi semua pihak yang berkepentingan, dalam tiga hal, yaitu (1) perencanaan dan perancangan sarana dan prasarana; (2) pelaksanaan pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; dan (3) pengawasan ketersediaan dan kondisi sarana dan prasarana.
Dalam penyusunan standar ini BSNP membentuk tim ahli yang dikoordinasi oleh Prof. Dr. Edy Tri Baskoro Sekretaris BSNP. Tim ahli berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Penyusunan standar didasarkan atas kajian terhadap standar serupa di perguruan tinggi di luar negeri, kondisi sekarang di Indonesia, dengan mengikutsertakan wakil-wakil dari stakeholder pendidikan tinggi se - Indonesia.
Standar sarana dan prasarana pendidikan tinggi yang disusun meliputi standar Prasarana (lahan, bangunan, ruang-ruang) dan standard Sarana ( perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku & sumber belajar lain, bahan habis pakai, teknologi komunikasi dan informasi, dan perlengkapan lain) untuk program sarjana pada sekolah, tinggi, institute, dan universitas.
Standar nasional sarana prasarana ini terdiri atas standar sarana prasarana yang berlaku untuk semua program studi di semua sekolah tinggi, institut dan universitas, serta standar prasarana dan sarana yang khusus untuk bidang-bidang ilmu tertentu.
Pemenuhan Standar Sarana dan Prasarana Standar sarana dan prasarana merupakan kebutuhan utama sekolah juga yang harus terpenuhi sesuai dengan amanat UUSPN No 20 Th 200, PP No 19 Th 2005, dan Permendiknas No 24 Th 2007. Selain itu, juga harus memenuhi dari ketentuan pembakuan sarana dan prasarana pendidikan yang telah dijabarkan dalam: (1) Keputusan Mendiknas Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan; (2) Pembakuan Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Pertama Tahun 2004 dari Direktorat Pembinaan SMP; dan (3) Panduan Pelaksanaan dan Panduan Teknis Program Subsidi Imbal Swadaya: Pembangunan Ruang Laboratorium Sekolah Tahun 2007 dari Direktorat Pembinaan SMP. Standar sarana dan prasarana pendidikan yang dimaksudkan di sini baik mengenai jumlah, jenis, volumen, luasan, dan Iain-lain sesuai dengan kategori atau tipe sekolahnya masing-masing
Di dalam Peraturan Mendiknas No 24 Tahun 2007 dan Peraturan Mendiknas No 40 Tahun 2008, standar sarana dan prasarana di SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK/MAK sudah dirinci secara jelas. Bahkan, ditetapkan kapasitas murid di tiap kelas untuk SD maksimal 28 siswa, SMP 32 siswa.

Di tingkat SD, prasarana minimal adalah ruang kelas, ruang usaha kesehatan sekolah, perpustakaan, laboratorium IPA, ruang pimpinan, ruang guru, tempat beribadah, jamban, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain/berolahraga. Di tingkat SMP ditambah ruang konseling, organisasi kesiswaan, dan tata usaha.

Adapun di tingkat SMA prasarana laboratorium mesti lengkap yakni laboratorium fisika, kimia, biologi, komputer, dan bahasa. Namun, kenyataannya sarana dan prasarana di sekolah masih belum memadai.
Kondisi memprihatinkan justru di tingkat pendidikan dasar SD-SMP.

Berdasarkan data Depdiknas tahun 2008, baru 32 persen SD memiliki perpustakaan. Penyediaan buku teks pelajaran utama baru 3 mata pelajaran/siswa dari idealnya lima mata pelajaran. Ruangan kelas yang rusak ringan dan berat mencapai 42,8 persen. SD yang bersarana multimedia baru 19 persen.

Di tingkat SMP, yang memiliki perpustakaan 63,3 persen. Penyediaan buku teks pelajaran baru 3 mata pelajaran/siswa dari enam mata pelajaran. Sekolah yang bersarana multimedia 47,8 persen, sedangkan yang memiliki laboratorium IPA baru 71 persen.

Pada jenjang SMA, keberadaan perpustakaan di SMA negeri mencapai 80 persen, di swasta 60 persen. SMA negeri yang punya laboratorium multimedia 80 persen, swasta 50 persen. Yang punya laboratorium IPA lengkap (Fisika, Biologi, dan Kimia) sudah 80 persen. Kondisi memprihatinkan di SMA swasta, yang punya tiga laboratorium IPA baru 10 persen, dan yang 2 laboratorium IPA 30 persen.

Di SMK, yang memiliki perpustakaan sudah mencapai 90 persen, yang punya laboratorium multimedia 75 persen. Untuk peralatan praktek, baru 45 persen SMK yang memakai sesuai standar sekolah nasional.



Kutipan:
Kompas.com